[caption id="attachment_436" align="alignleft" width="300" caption="ilustrasi krisis air"]
[/caption]
Air merupakan sumber kehidupan, urutan kedua setelah udara. Manusia tidak dapat bertahan hidup tanpa air, oleh karena itu PBB menetapkan air sebagai salah satu hak asasi manusia, hak penyokong hak hidup yang wajib dilindungi oleh negara. Sebenarnya ketersediaan air di bumi melimpah ruah, sayangnya yang dapat dikonsumsi manusia untuk keperluan domistik hanya 5% saja, sisanya adalah air laut.
Persentase itu pun cenderung menurun akibat polusi, penggunaan yang tidak mengindahkan aspek pelestarian dan terutama akibat peningkatan populasi.
Sebagaimana disampaikan Jacques Diouf, Direktur Jenderal Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO, 2007) saat ini kebutuhan air dunia melampaui dua kali lipat kebutuhan seabad silam, namun ketersediaanya justru menurun. Akibatnya lebih dari 40% penduduk bumi harus menanggung krisis air bersih. Kesulitan akses air bersih ini mengakibatkan 3800 anak tiap hari terbunuh oleh water bound Deasease. Demikian pelik masalah ini hingga ahli memprediksi suatu saat akan terjadi perang air, seperti halnya perang minyak saat ini.
Sekitar 119 juta rakyat Indonesia belum memiliki akses terhadap air bersih (Suara Pembaharuan, 23 Maret 2007). Kondisi ini sangat ironis, mengingat Indonesia termasuk 10 negara kaya sumber air tawar. Ketersediaannya bahkan mencapai 15.500m3/kapita/tahun, jauh di atas rata – rata dunia yang hanya sekitar 8000 m3/kapita/tahun.
Selain kualitas dan kuantitas, pelayanan air minum di Negara ini juga bermasalah dalam hal ruang dan waktu. Dari segi spasial, pulau jawa yang dihuni lebih dari 65% penduduk hanya memiliki 4,5% dari keseluruhan air tawar nasional. Kelompok Kerja Air Minum dan Penyehatan Lingkungan (AMPL, 2007) melaporkan bahwa ketersediaan air di Pulau Jawa hanya 1.750m3/kapita/tahun dan akan terus menurun hingga hanya 1.200 meter m3/kapita/tahun pada tahun 2020. Padahal standard kecukupan minimal bagi kesehatan adalah 2000m3/kapita/tahun. Dari segi waktu, pada musim hujan air berlimpah bahkan sering kali menyebabkan banjir, sedangkan pada musim kemarau bencana kekeringan melanda banyak kawasan di nusantara ini.
Ketidakmampuan menjamin kebutuhan air bersih berdasarkan kaidah “Warung Jamu” (waktu, ruang dan jaminan mutu) telah menjebloskan Indonesia pada peringkat terendah dalam pencapaian Milenium Development Goals (MGDs). Lembaga Pembangunan Perserikatan Bangsa – Bangsa (UNDP, 2006) tentang MDGs Asia Fasifik melaporkan bahwa Indonesia menempati peringkat terbawah bersama Bangladesh, Laos, Myanmar, Pakistan, Papuan Niugini dan Filipina.
Sesuai amanat UUD 45 pasal 33, sejak akhir dekade 70-an Pemerintah telah berupaya menunaikan kewajibannya melalui pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM). Mula - mula pengembangan SPAM banyak dilakukan oleh Pemerintah Pusat, namun menyelaraskan dengan PP No.14 tahun 1987 tentang Penyerahan Sebagian Urusan Pemerintah Bidang Pekerjaan Umum kepada daerah, maka urusan pembangunan, pemeliharaan dan pengelolaan prasarana dan sarana air minum diserahkan kepada pemerintah kabupaten/kota melalui Perusahaan Air Minum Daerah (PDAM) sebagai Badan Usaha Milik Daerah (BUMD).
Sayang, fakta menunjukkan bahwa dari sekitar 400 PDAM yang tersebar di seluruh Indonesia, hanya sekitar 10% saja yang beroperasi dengan prima. Pada tahun 2007 teridentifikasi dari 335 PDAM hanya 80 perusahaan yang sehat, 116 kurang sehat dan sisanya 139 sakit. Secara keseluruhan PDAM saat ini juga terbelit hutang RP 5,66 triliun. Sepanjang kurun 1992 – 2002 terjadi stagnasi perluasan layanan air minum perpipaan. Bahkan proporsi penduduk yang mendapat pelayanan air minum perpipaan justru menurun dari 19,2% pada tahun 1997 menjadi 18% pada tahun 2002, di pekotaan maupun pedesaan. Rendahnya kinerja PDAM juga terbukti dari kegagalannya menurunkan tingkat kebocoran air yang mencapai level 30-40% (standard maksimal 20%). Permasalahan yang dihadapi PDAM sudah sangat kompleks; kebocoran pipa – pipa yang memang sudah tua, pencurian air di sepanjang jalur distribusi, makin memburuknya kualitas air baku yang otomatis menaikkan biaya produksi, kenaikan harga bahan – bahan kimia, lilitan hutang beserta bunganya, kesalahan manajemen, hingga terakhir diberitakan pula bahwa tarif yang ditetapkan pemerintah daerah tidak memenuhi full recovery cost demi kepentingan politis.
YLKI (Yayasan Konsumen Indonesia) pada September 2004 melaporkan bahwa berbagai persoalan besar dalam pengelolaan sumberdaya air di Indonesia, terutama sejak krisis ekonomi tahun 1997 menjadi salah satu alasan bagi lembaga keuangan internasional untuk mendorong pemerintah Indonesia melakukan restrukturisasi manajemen sumberdaya air. Pemerintah Indonesia pun akhirnya menyetujui kesepakata dengan World Bank dan Asian Development Bank untuk melakukan perubahan institusi dan legal formal sektor air melalui program “Water Resource Sector Adjustment Loan (WATSAL)”.
Sebenarnya kesepakatan ini adalah bagian dari persyaratan pinjaman “Structural Adjustment Loan” dari World Bank dan International Monetary Fund (IMF) untuk mengatasi krisis ekonomi tahun 1997. Sejak itu, dilakukan berbagai perubahan mendasar dan struktural dalam pengelolaan sumberdaya air di Indonesia, termasuk melakukan amandemen berbagai perundangan, di antaranya adalah Undang – Undang Nomor 11 Tahun 1974 tentang Sumberdaya Air.
Beberapa prinsip dasar restrukturisasi yang disepakati tersebut adalah:
- Membatasi peran pemerintah pusat sebatas fungsi pengaturan (regulator) saja
- Meningkatkan kerjasama antar sektor publik dan swasta di tingkat lokal dan regional (Provinsi dan Kabupaten/Kota)
- Membangun konsultasi publik dan partisipasi stakeholder lainnya dengan menciptakan institusi yang mampu memfasilitasi terjadinya dialog antar stakeholder
- Membangun pengelolaan sistem irigasi partisipatif yang memungkinkan pengelolaan tersebut sampai pada komunitas pengguna air
________________________To be continue.. will be up load 2 week later
Note : Foto adalah koleksi Waterplant Community