Film ini juga mempersoalkan hubungan dengan pemeluk agama lain. Mandira yang diperistri oleh Rizvan merupakan wanita mandiri yang beragama Hindu. Kehidupan berkeluarga pasangan suami istri tersebut berjalan harmonis layaknya pasangan lainnya yang berpegang pada prinsip hidup yang sama.
Masing-masing mampu memisahkan urusan rumah tangga di mana keduanya harus saling terlibat dan urusan hubungan mereka dengan Tuhan mereka di mana mereka harus saling menghormati. Sampai pada suatu ketika, hubungan suami istri ini retak akibat kematian Sameer, anak mereka yang dibunuh oleh teman-teman sekolahnya karena isu “prejudice” terhadap Islam.
Orang islam pun juga mau dan bersemangat menolong pemeluk agama lain yang terkena musibah. Hal ini yang digambarkan pada salah satu adegan di mana Rizvan tanpa berpikir panjang pergi ke Kota kecil bernamaWilhelmina yang terkena badai besar yang menenggelamkan kota itu. Ia di sana melakukan pekerjaan apa saja untuk menolong korban bencana tersebut, mulai dari merawat korban, memperbaiki atap gereja yang digunakan para korban untuk mengungsi hingga menegakkan kembali tiang-tiang kabel listrik yang rubuh diterjang badai. Rizvan memperlakukan mereka layaknya saudaranya sendiri.
[caption id="attachment_94" align="aligncenter" width="446" caption="“My name is Khan, and I’m not a terrorist”"]
[/caption]
Tak hanya sisi positif Islam yang disajikan oleh film ini, namun juga persoalan yang mendera kalangan internal Islam. Pandangan orang Islam mengenai bagaimana jihad dijalankan terpecah akibat multi interpertasi terjadi di sana. Dalam suatu adegan terlihat seorang intelektualitas Muslim bernama Dr. Rechman yang menghasut lima orang muslim untuk berjihad dengan jalan kekerasan.
Sedangkan, Rizvan yang sedianya mampir ke masjid itu untuk beristirahat mempunyai pandangan bahwa jihad harus dijalankan secara positif dengan jalan kasih sayang. Alhasil, perselisihan terjadi antara Dr. Rechman dengan Rizvan yang berpandangan berbeda. Oleh sebab itu, dengan ini seharusnya publik mau membuka pikirannya bahwa sikap ofensif segelintir orang Islam-terorisme tidak mewakili keseluruhan sikap orang Islam. Maka dari itu, stigmatisasi negatif terhadap orang Islam harus dihentikan.
My Name is Khan bisa dianggap sebagai suatu upaya konter balik terhadap film-film Barat yang mendeskriditkan Islam dengan isu terorismenya. Film ini menyajikan konsep-konspep penting yang membangun Islam sebagai suatu agama dan “the way of life” yang harus diketahui khalayak, yang terdiri atas fanatisme terhadap Tuhan dan kewajiban ibadah yang kuat, bukan fanatisme sempit untuk menghancurkan pihak lain yang berbeda keyakinan, hubungan harmonis terhadap pemeluk agama lain, kesediaan berkorban untuk menyelamatkan pemeluk agama lain yang terkena musibah.
Di samping itu, juga tak ketinggalan bagaimana kondisi umat Islam saat ini yang mengalami perbedaan interpertasi ajaran, sehingga salah satu diantaranya menyulut aksi terorisme.
Meskipun film ini membawa pesan serius, namun penyajiannya juga dibumbui dengan humor-humor segar serta alunan musik khas Hindustan yang membuat beberapa adegan menjadi lebih terasa dramatis, sehingga dijamin tidak akan membuat bosan para penontonnya.
Dengan ini, kita bisa mengambil pesan moral yang terselip di dalamnya sembari menikmati sebuah tontonan yang menghibur. Yang tak kalah penting, tentunya, semoga film ini diharapkan akan mampu mereduksi sikap “prejudice” pada Islam, serta menghilangkan stigmatisasi negatif yang tak beralasan. Semoga! (mad)