Bukan sekedar ungkapan sinis
Tampaknya dalil yang menyatakan “Yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin” benar adanya di negeri ini, apabila kita melihat perilaku golongan ekonomi atas yang “tidak sadar” dalam membelanjakan uangnya. Orang-orang yang berduit lebih senang menghabiskan uangnya entah untuk kepentingan perut, untuk membalut tubuh mereka agar kelihatan manis, dan urusan senang-senang, dilakukan di tempat-tempat yang menjadi lahan usaha orang kaya lainnya.
Coba lihat, orang-orang yang suka berbelanja di mall akan cenderung untuk memilih tempat makan di foodcourt mall tersebut, bukan di warung makan di sekitar mall. Walaupun seringkali rasa makanan yang dijual di sebuah foodcourt ngak karuan, masih kalah “yummy” dengan makanan yang dijual di warung makan. Bandingkan saja, sepiring nasi goreng di pinggir jalan bisa jauh lebih gurih dan mantap rasanya dari pada nasi goreng yang kadang ngak sampai sepiring penuh banyaknya, yang dijual di mall-mall. Tapi herannya, mereka rela membayar makanan itu dengan harga selangit.
Dalam hal penampilan, mereka tentunya akan menyambangi butik-butik eksklusif atau toko-toko pakaian mahal untuk mendapatkan baju yang unik dan “aneh” agar dinilai beda dengan yang dijual di pasaran oleh orang lain. Begitu pula dengan urusan senang-senang, orang-orang yang berduit akan memilih tempat nongkrong yang cozy dan penuh dengan fasilitas pendukung kegiatan bersenang-senang mereka sekelas cafĂ© atau diskotik, bukan angkringan yang terletak di pinggir jalan.
nongkrong di cafe diskotik mewah
Fenomena di atas bisa dilihat dari kacamata psikologis dan sosiologis. Status “kaya atau berduit” menuntut si empunya untuk selalu mempertahankannya. Meskipun dirasa ribet, tapi hasilnya sebanding, yaitu kepuasaan pribadi yang tiada tara karena mereka berhasil memenuhi gaya hidup yang berkelas atau untuk menikmati pandangan dan pujian orang lain yang melihat mereka sebagi golongan yang “wuah”.
Mempercantik di salon
Sebagai contoh, baik cewek ataupun cowok kaya mau repot-repot pergi ke salon untuk merawat setiap jengkal bagian tubuhnya, mulai dari luluran, manicure-pedicure, hingga facial. Setelah keluar dari salon, mereka tampak kinclong yang membuat orang yang berseliringan dengan mereka berdecak kagum.
“Kaya” bisa dianggap sebagai suatu sistem dimana subsistem pembangunnya selalu mencari keseimbangan. Simbol-simbol kekayaan seseorang diupayakan untuk dipenuhi secara seimbang oleh para orang-orang kaya.
Sebagai ilustrasi, orang yang bermobil Mercy pasti akan memakai produk-produk branded lainnya, seperti Gucci, Prada, Dolce & Gabbana, dan lain-lain. Tempat makan yang mereka datangi pun juga ngak tanggung-tanggung mewahnya dengan sajian masakan yang per-porsinya dihargai ratusan ribu hingga jutaan rupiah, misalnya restoran masakan khas Perancis dan House of Wine yang produk-produknya diimpor dari Perancis, Italia ataupun Spanyol.
Dari sudut pandang sosiologis, secara alamiah, orang-orang yang berlatar belakang sama, dalam hal ini adalah orang-orang kaya akan berkumpul dengan sesamanya. Dengan kekuatan ekonomi mereka, acara kumpul-kumpul dibuat semeriah mungkin, tak peduli berapa banyak uang yang dibuang. Pernah pada suatu ketika, penulis mendengar cerita dari temannya kalau adik temannya tersebut pernah ikut acara kumpul bareng sesama model di suatu tempat ajojing ternama di Jogja dengan biaya sewa 5 juta rupiah untuk beberapa jam saja. Itu belum termasuk pengeluaran pribadi yang angkanya membengkak sampai jutaan rupiah lho. Wouw fantastis!.
Koleksi Mobil Mewah
Dengan berkumpulnya orang kaya tersebut, praktis transaksi simbol-simbol kekayaan juga dipastikan terjadi di sana. Yang jelas terlihat adalah penggunaan produk-produk “branded” yang melekat di tubuh mereka. Mereka, dalam kelompoknya akan berlomba-lomba menampilkan penggunaan produk-produk mahal tersebut supaya masih dianggap termasuk di dalam golongan kaya (baca: kelompok mereka). Perilaku ini akan semakin menguatkan konsumsi mereka hanya karena untuk memenuhi tuntutan pengakuan dari sesamanya, bukan didasarkan atas kebutuhan riil.
Sadar atau tidak? kelakuan mereka itu membawa dampak kepincangan ekonomi. Distribusi ekonomi tidak berjalan dari kalangan atas ke kalangan bawah. Bukan trennya lagi kalau distribusi ekonomi yang merata menjadi tanggung jawab pemerintah semata, tapi semua anggota masyarakat, terutama masyarakat yang berekonomian kuat. Bila hal ini terus terjadi, perekonomian hanya berputar di sekitaran golongan atas saja.
Pendek kata, mereka itu hanya memperkaya golongannya sendiri, lingkaran orang-orang berduit saling menikmati peredaran uang yang mereka gulirkan. Laba yang diperoleh dari suatu usaha akan mereka pakai untuk mendirikan jenis usaha baru yang menjanjikan profit besar. Mereka akan bertambah kaya dan bertambah kaya lagi.
angkringan
Memang, menikmati kekayaan dengan cara membelanjakannya adalah hak setiap orang, tapi bila hal ini dilakukan tanpa memperhatikan lingkungan sosial sekitar, secara perlahan-lahan akan menghancurkan perekonomian masyarakat secara keseluruhan.
Saatnya dalam perekonomian yang sulit ini, pola konsumsi orang kaya diubah sehingga membawa efek pemerataan ekonomi yang dapat dinikmati semua pihak, terutama oleh golongan ekonomi menengah-bawah yang baru merintis usahanya dalam bentuk kemauan untuk mengkonsumsi produk-produk mereka.