“Aku mana mungkin menerimanya? Aku ini baru kelas 2 SMA!”
Ia memelukku dengan begitu erat, saking eratnya, sampai-sampai aku seperti merasakan beban dan kesakitan yang sama denganya. Beban dan rasa sakit itu, barangkali membuatnya begitu rapuh, hingga ia memelukku agar aku bisa menguatkannya. Tapi, aku hanya bisa membelainya saja. Aku takut, kalau aku memeluknya kuat-kuat, satu pelukan dariku akan mematahkan tulang-belulangnya yang kini begitu rapuh, serapuh kerak es di akhir musim dingin.
“Kalau aku jadi dirimu, aku juga akan melakukan hal yang sama...”kataku.
Tiba-tiba ia melepaskan pelukannya, “Tapi aku juga merusak silaturahimmu dengan dia. Seharusnya kau tak melakukan ini hanya gara-gara aku.”
“Kalau kau jadi aku, pasti akan kau lakukan juga.”kataku.
“Mas Tegar itu, baik aku maupun dirimu tidak ada yang menyangka kalau akan jadi begini akhirnya. Barangkali, mengenalnya itu salah. Aku, tidak bisa membayangkan bagaimana perasaan Umi Leni sekarang...” aku berkata pelan,”Ini juga bukan salahmu. Atau salah Mas Tegar. Dia hanya mencintaimu. Kau memang bunga. Indah. Dan pantas dicintai.”
“Kau juga bunga. Tapi, ah... bodohnya aku, aku tak bisa menjaga diri.” katanya. “Tapi, sayang sekali, gara-gara ini kau harus memutuskan hubunganmu dengannya. Dia mentor yang baik. Dia bahkan juga bisa menjadi jalan untukmu meraih mimpi.”
“Itu semua tergantung keputusan Alloh. Takdir mimpiku tidak berada di tangannya.”
“Tapi, dia tidak berbohong. Dia tulus soal perasaannya padamu. Dia sungguh menganggapmu sebagai putrinya.”
“Mana ada seorang Ayah yang tulus menyayangi putrinya, justru jatuh cinta dan ingin taaruf dengan teman baik putrinya. Kalau aku benar jadi putrinya, mana mungkin aku bisa menerimanya?”
“Tapi, Rum. Kita tahu, kalau poligami itu adalah sunah Rosul. Jangan gara-gara hal ini kau jadi membenci poligami.”
“Tapi, bukan poligami macam ini yang dicontohkan Nabiyulloh pada kita.”
“Aku juga merasa begitu. Bahkan, kalaupun aku mengiyakan, mana ada taaruf selama ini?”
“Dan lagi... tidak ada alasan baginya untuk poligami. Dia baru 24 tahun. Rafah masih kecil. Bahkan Umi Leni sedang mengandung, aku tidak tahu apa yang ada dalam pikiranya.”
“Tapi, Mbak Leni bahkan setuju. Subhanalloh...”
“Roos...”
“Hm?”
“Orangtuaku, membesarkan aku dengan susah payah. Mereka susah payah menjadikan aku wanita terhormat, karena itu mereka mengajarkan agama padaku. Aku yakin, perjuangan mereka itu semata-mata agar aku bahagia. Bahkan, ayahku tidak poligami. Barangkali, ia juga tak akan terima, kalau anak yang susah payah dibesarkanya ini, menjadi istri orang yang sudah berkeluarga. Itulah, yang mungkin dibicarakan Ibumu, kalau ia tahu perkaranya. Jangan kau risaukan lagi tentang Ibumu.”
“Tapi, suatu saat nanti, kalau digariskan, kita juga harus menerima poligami.”
“Entahlah. Tapi, kalau harus, kalau itu diniatkan benar-benar untuk membela agama Alloh, bukan hanya sekedar hawa nafsu, aku, mungkin akan mencoba menerimanya.”
Aku melihat Roosita mengangguk setuju. Dan lagi-lagi ia memelukku.
“Tapi, semoga tidak...”
***
Aku terdiam menatap wanita yang ada di hadapanku. Aku seolah mengenalnya. Dia Roosita. Memang benar Roosita. Tapi, aku hanya merasa seolah mengenalnya. Karena, Roosita yang ada di hadapanku saat ini, bukanlah Roosita yang cerewet itu. Bukan Roosita yang ceria itu. Bukan Roosita yang berteman denganku.
Kebahagiaan tengah disita darinya. Aku tak menyangka Tuhan begitu menyayanginya hingga mencobanya dengan cobaan yang tak tertanggungkan pedihnya. Tapi, aku tahu ini begitu pedih sampai aku merasa ia tak akan bisa menanggungnya. Tidak sendiri, kupikir.
“Aku sudah menganggapmu saudaraku. Aku sudah tak bisa marah lebih lama lagi.”kataku.Kemudian ia mendekatkan tubuhnya pada tubuhku seperti akan memelukku. Aku pun meraih tubuhnya. Namun, baik aku maupun dia, sama-sama menuju arah kiri, hingga membuat jidat kami terbentur satu sama lain.Momen yang seharusnya jadi mengharukan itu, jadi tak berjalan mulus karena perdebatan kami mengenai siapa yang mengambil arah tepat dan siapa yang salah. Aku ingat, semenjak kejadian itu, kami tidak pernah bertengkar secara serius lagi.Aku ingat semua pencintraannya dan pertemanan kami yang telah terjalin selama belasan tahun. Bagaimana kami berkenalan waktu SMP, menertawakan berupa-rupa hal saat SMA, bahkan saat kami menjadi mahasiswa di universitas yang berbeda. Aku juga ingat saat aku pertama kali memperkenalkan Rafly padanya. Juga saat ia menikah. Dan juga beberapa hari lalu saat ia berkata padaku kalau ia sedang mengandung.
Hari ini semua itu hanya berupa kelebatan citra yang berpendar redup dalam hatiku. Melihatnya seperti ini, membuat hatiku begitu pilu.
“Jangan menangis lagi.” Rafly berkata sambil mengusap punggungku.
“Wanita ini, sudah jadi sebatang kara dalam usia semuda ini.”
“Dia tidak benar-benar sendiri. Dia masih punya seorang paman.”
“Paman yang tidak dikenalnya.”
“Kita doakan yang terbaik untuknya.”
Rafly menuntunku pergi meninggalkan kamar Roosita yang saat ini sedang tertidur. Dokter mengatakan kalau kondisinya baik-baik saja, berikut bayi yang ada dalam kandungannya, tapi ia mengalami trauma yang begitu besar.
***
“Kau masih memikirkan Roosita?”
Aku mendesah dan mengangguk. Kemudian ia duduk di ranjang, dekat sekali denganku. Aku menyandarkan kepalaku di bahunya sementara menikmati belaiannya yang lembut di kepalaku. Laki-laki seperti dia, di mana lagi bisa kutemukan?
Roosita juga. Aku tak mungkin bisa menemukan kawan seperti dia lagi.
“Pasti ada jalan untuk membantunya.”katanya lagi.
“Kita harus merawatnya.”
Mendadak ia menghentikan belaianya. Maka, aku mengangkat kepalaku untuk melihat ia menggelengkan kepala.
“Kita tahu, walaupun kau sangat menyayanginya, kau tak lebih berhak dari pamanya untuk bisa mendapatkanya.”
Aku kembali meletakkan kepalaku di bahunya. Aku menyadari kebenaran perkataan Rafly. Kalaupun aku memang telah menganggap Roosita sebagai saudariku, atau bahkan bila aku adalah orang yang paling menyayangi dan mempedulikanya di dunia ini, maka aku tak lebih berhak dari pamanya untuk bisa merawatnya. Kami tak punya talian darah sama sekali. Lagipula, akan timbul fitnah kalau aku dan suamiku merawat seorang wanita yang sedang mengandung, apalagi wanita itu sama sekali bukan keluarga kami.
Lain ceritanya kalau... . Aku mengangkat kepalaku dan melihat wajah Rafly. Memandang jauh pada mata lelaki yang diliputi kesederhanaan ini. Aku tak yakin apa ia akan menyetujui usulku yang gila ini. “Tak bisakah kau....” tanyaku ragu.
“Apa yang ada di kepalamu?” tanyanya sambil memegang pipiku. Aku sadar aku tak sanggup mengucapkannya. Atau memang sebenarnya aku tak sanggup memintanya. Aku merasa kalau mataku berkaca-kaca memikirkan hal yang akan kumohon darinya.
Baru aku mau berkata, ia seperti menyadari apa yang hendak kubicarakan. Ia menggeleng dengan pelan dan berkata, “Tidak. Tidak. Jangan bilang kalau kau ingin aku...”
“Aku mohon padamu, Rafly. Kita berdua sama-sama tahu kalau dia sedang mengandung.”
“Tidak. Aku tidak bisa melakukannya.” Ia beringsut dari posisi duduknya. Berlutut di hadapanku. Tangannya memegang tanganku dengan erat.
“Aku tidak bisa melakukanya...”
“Aku mohon pikirkanlah, dia sedang mengandung dan kita tak mungkin membiarkan ia menanggungnya sendirian. Dan kita juga menginginkan seorang bayi.”
Saat itu aku melihat Rafly menunduk. Dia menciumi tanganku. Tapi, aku merasakan buliran-buliran hangat air matanya yang membasahi tanganku. Aku tak pernah melihatnya menangis. Tak sekalipun.
Kami terperangkap dalam kebisuan untuk beberapa saat. Rafly masih tetap menunduk. Sampai pada akhirnya ia melangkah pergi meninggalkanku.
“Aku mohon, pertimbangkan.” Ia hanya berhenti tanpa menoleh padaku, “Sholatlah. Kalau setelah itu kau merasa tidak yakin, kau boleh tidak melakukannya. Tapi, aku mohon, istikhorohlah dulu.”
Ia pergi tanpa bicara apapun.
***
“Roosita, kau harus makan sesuatu...”
Ia diam. Ia hanya memandang wajahku tanpa mau berkata apapun. Ia memandangku dengan pandangan yang menggetarkan.
“Apa kau pikir Rafly itu tampan?”
Ia diam lagi.
“Aku tahu dia tampan. Juga baik dan perhatian.”
Kali ini bibirnya membentuk senyuman tipis. Sangat tipis. Sampai-sampai aku mengira kalau ia tidak tersenyum.
“Maukah kau menikahinya?”
Maka sontak wajahnya yang sedari tadi kosong, mengekspresikan perasaan kaget yang luar biasa. Matanya yang dari tadi memandangku dengan perasaan hampa, kini memandangku dengan pebuh tanya.
“Kau mau kan menikahinya?”
Dia tetap tak berkata apapun. Tapi, pandanganya berubah lembut luar biasa. Ia menatapku dengan mata yang penuh kesedihan dan kekhawatiran. Aku memeluknya untuk beberapa saat. Tapi, ia tak membalas pelukanku.
“Kita akan benar-benar menjadi saudari.” kataku.
Aku menangis saat mengucapkanya. Biarpun aku sendiri yang memintanya, tapi perasaan tak rela masih tetap saja menempel pekat di medan pikir. Aku pikir, aku benar-benar merasa jatuh cinta pada Rasululloh dan sunah-sunahnya. Tapi, begitu aku dihadapkan dengan poligami, hatiku jadi surut, nyaliku ciut, aku tak tahu apa aku bisa melakukannya.
Semalam, aku tak bisa tidur dan terus menangis dalam sholatku setelah Rafly berkata padaku dengan wajah sembap kalau ia akan menikahi Roosita. Aku tak bisa bayangkan bagaimana perasaannya. Sejauh yang kutahu, ia bukan laki-laki seperti itu. Ia hanyalah lelaki pendiam yang ketika menikahiku, ia bilang kalau ia hanya akan mencintaiku saja. Maka, dari situlah reputasinya terbangun di mataku. Dan aku, aku sendirilah yang menghancurkan semua reputasi itu.
Saat itu aku pikir Roosita menyadari kesedihanku hingga aku merasakan ia mulai membalas pelukanku. Awalnya dengan ragu-ragu. Tapi, setelah itu ia mulai memelukku kuat-kuat dan menepuk-nepuk bahuku.
“Aku tahu aku bisa melakukannya. Kau mau membantuku?”kataku memohon.
Roosita melepaskan pelukan kami dan ia mengangguk.
***
Di hari pernikahan Rafly dan Roosita aku mulai memikirkan semuanya. Perasaan rela itu tak mungkin bisa kudapatkan begitu saja. Dahulu, pada Roosita aku berkata kalau aku tak ingin menemui takdir seperti ini. Dahulu, dengan Roosita aku mengidamkan lelaki yang sholeh luar biasa, lelaki yang menjadikan islam sebagai sistem hidupnya, mubalegh yang menjaga benar kefahaman agamanya. Dahulu juga, aku berkata pada Roosita untuk mundur dari mimpi itu, dan menikah dengan laki-laki biasa saja, asalkan ia mampu menjaga agama dan sholatnya. Semua itu, karena aku terlalu takut akan takdir poligami. Sementara Roosita tetap merasa yakin akan mimpinya, dan bahkan ia meraa siap kalau laki-laki yang akan kelak menjadi suaminya memadunya dengan perempuan lain.
Tapi kini, aku tahu, sepenuhnya aku sadar, kalau takdir itu sama sekali tak bisa dihindari. Roosita benar, selama ini aku belum bisa mencintai Rasululloh dan mencintai sunah-sunahnya. Aku bahkan membenci salah satu sunahnya. Padahal, dari satu sunah itu, satu sunah yang amat kutakuti itu, aku tahu, kalau Alloh akan memberiku hadiah yang tak ternilai. Surga.
“Kau belum tidur?” Rafly membuyarkan lamunanku. Ia memelukku dari belakang. Tangan-tanganya lembut membekap tubuhku. Desah nafasnya terasa panas di pipiku.
“Ada yang kau pikirkan?” katanya lagi.
“Hm.” Aku mengangguk kecil.
“Apa itu?”
“Kenapa kau ada di sini? Bukankah seharusnya kau bersama Roosita?”
“Aku merindukanmu. Dan Roosita mengizinkanku untuk melihatmu sebentar.”
“Baiklah. Aku punya 5 menit untukmu.”
“Kalau begitu, kita dengarkan hal apa yang membuatmu risau.”
Aku tersenyum. Kemudian menyandarkan wajahku pada lengannya. “Kau harus mulai belajar mengartikan ekspresiku, Rafly. Sungguh, tak ada yang merisaukanku.”
“Tak ada?” tanyanya curiga.
Aku mengangguk. “Aku hanya sedang teringat satu kenangan.” Aku mendongak untuk mengetahui ekspresi wajahnya yang dengan sabar menungguku.
“Dulu, waktu SMA aku dan Roosita ingin menikah dengan seorang mubalegh, seorang murabbi.”
“Aku menyesal mendengarnya. Karena hanya Roosita saja yang terkabul keinginannya.”
Aku menggeleng. “Tidak. Karena suatu hal, aku berkata pada Roosita, kalau aku ingin menikah dengan pemuda yang biasa saja. Tidak perlu seorang murabbi, asalkan ia adalah muslim, dan mampu menjaga agamanya, serta imam yang baik. Itu saja sudah cukup.”
“Dan kau mendapatkan aku?”
Aku mengangguk dan membalikkan badan untuk memandangnya. “Roosita bilang, kalau aku menurunkan standartku.”
Aku memandang ekspresinya yang lucu. Ia mengerutkan jidatnya. “Ia salah.” Aku memegang wajahnya. “Dirimu itu,” aku tersenyum padanya, “beserta semua takdir ini, adalah hal yang paling aku suka di dunia.” ***
@Ryrin49
www.ryrin49-semutmerah.blogspot.com