[caption id="attachment_699" align="alignleft" width="300" caption="Warga mencari air bersih di sungai"]
[/caption]
Terlepas dari semua argumen yang telah paparkan pada tulisan sebelumnya Dahaga di Jamrut khatulistiwa , kegagalan PDAM selama hampir 50 tahun sudah cukup menjadi alasan untuk mengalihkan kewenangan pemerintah ini pada institusi yang lebih professional (swasta).
Meski menuai kontroversi di berbagai tingkatan, Undang – Undang Nomor 11 Tahun 1974 telah diamandemen dengan lahirnya Undang – Undang Nomor 7 Tahun 2004, yang pada pasal 45 ayat 3 melegalkan privatisasi air. Berlandaskan perlindungan ayat yang menyebutkan bahwa “pengusahaan sumberdaya air dapat dilakukan oleh perseorangan, badan usaha atau kerjasama antara badan usaha berdasarkan izin pengusahaan dari pemerintah atau pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya” ini lah beberapa PDAM telah merangkul swasta dalam pendanaan dan juga pengelolaan.
Bahkan saat itu, 95% saham PAM Jaya (PDAM Jakarta) sudah dikuasai oleh dua perusahaan asing , Themes Water International dari Inggris dan Ondeo Suez dari Prancis. Di daerah lain pun sejumlah perusahaan asing juga sudah mulai beroperasi. Misalnya; Biwater di Batam dan Palembang, Ondo Suez di Medan, Semarang dan Tanggerang; serta Thames Water International dan Vivendi yang sama – sama beroperasi di Sidoarjo.
Pemberlakuan Undang – Undang Nomor 7 Tahun 2004 ini, oleh Pemerintah dianggap sebagai solusi dalam pengelolaan sumberdaya air dengan asumsi bahwa pemberlakuan nilai ekonomis tinggi terhadap air akan mendidik masyarakat lebih hemat, menjaga dan mensyukuri nikmat sumberdaya air.
Masih berdasarkan laporan YLKI (September 2004), ternyata privatisasi di beberapa Negara berkembang banyak yang mengalami kegagalan. Penelitian yang dilakukan PSI’s Research Unit, University of Greenwich, London (2000), kasus di Bolivia, Argentina dan Pakistan menunjukkan bahwa privatisasi air gagal melayani masyarakat miskin, bahkan yang terjadi justru lonjakan harga berkali lipat. Bahkan Majalah Air Minum edisi Mei 2004 menulis bahwa setelah privatisasi air, di Cochabamba dan Bolivia terjadi kenaikan harga air hingga 300%, yang berarti kelompok miskin harus mengalokasikan 25% pendapatan hanya untuk belanja air saja. Kondisi di Indonesia pun tidak lebih baik, ambil saja contoh PAM Jaya yang sejak pengelolaan bersama dengan dua swasta asing harga air telah mengalami kenaikan hingga 3 kali, yaitu 20% (1998), 35% (2001) dan 40% (2003).
Sebagaimana dipaparkan di atas, sebenarnya tuntutan restrukturisasi pengelolaan sumberdaya air tidak hanya memuat legalitas privatisasi, masih ada prinsip lain yang tidak boleh diabaikan. Hanya saja privatisasi air merupakan isu sensitif bagi berbagai kepentingan, sehingga nyaris menyedot seluruh perhatian. Bagi PDAM, privatisasi adalah jalan pintas membebaskan diri dari lilitan hutang dan neraca keuangan minus yang sudah mentradisi. Bagi swasta, privatisasi air adalah kesempatan memonopoli komoditas strategis yang permintaannya senantiasa melejit.
Bagi kelompok berpendapatan tinggi, privatisasi air adalah reformasi untuk sebuah pelayanan publik yang lebih terjamin kuantitas, kualitas dan kontinutasnya. Sementara bagi kelompok berpendapatan rendah, privatisasi air adalah bencana yang menjebloskan mereka lebih dalam pada jurang kemelaratan. Tersedotnya seluruh perhatian pada isu privatisasi air berakibat lepasnya pengawasan terhadap prinsip lain dari keempat prinsip restrukturisasi tersebut. Padahal, jika saja setiap prinsip mendapat perhatian secara proporsional, bukan mustahil rekonstruksi yang kontroversial ini mampu mengalirkan kesegaran dalam pengelolaan sumberdaya air di bumi pertiwi ini.
Dari empat prinsip yang melandasi restrukturisasi tersebut, dua prinsip yang nyaris terabaikan itu adalah :
- Membangun konsultasi publik dan partisipasi stakeholder lainnya dengan menciptakan institusi yang mampu memfasilitasi terjadinya dialog antar stakeholder.
- Membangun pengelolaan sistem irigasi partisipatif yang memungkinkan pengelolaan tersebut sampai pada komunitas pengguna air
Sangat jelas bahwa kedua prinsip ini merupakan perisai bagi kelompok berpendapatan rendah dari hantaman privatisasi air. Sayangnya para aktifis dan politisi lebih suka menggugat privatisasi air dari pada mengoptimalkan pelaksanaan kedua prinsip ini. Jika saja laju privatisasi air diimbangi laju implementasi kedua prinsip ini, mungkin kita bisa menaruh harapan atas undang – undang tersebut sebagai sebuah reformasi pengelolaan sumberdaya air di negeri ini.
Luput dari pemberitaan, sebenarnya pemerintah tidak sepenuhnya cuci tangan dan menyerahkan seluruh mandat pengelolaan sumberdaya air pada pihak swasta. Sesuai dua prinsip tersebut serta kesadaran bahwa pembangunan air minum dan penyehatan lingkungan tidak hanya terkait satu bidang tertentu tapi merupakan kolaborasi dari beberapa aspek (teknis, kelembagaan, pembiayaan, sosial dan lingkungan hidup), maka Pemerintah membentuk Kelompok Kerja Air Minum dan Penyehatan Lingkungan (AMPL) yang terdiri dari departemen – departemen terkait (Departemen Dalam Negeri, Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah, serta Departemen Kesehatan) yang dikoordinasi oleh BAPENNAS.
Program air minum dan penyehatan lingkungan ini diimplementasikan melalui berbagai proyek kolaboratif, yakni WASPOLA, WSLIC-2, ProAir, CWSH dan SANIMAS, yang kesemuanya berusaha mengembangkan pengelolaan air minum berbasis komunitas. Pengelolaan berbasis komunitas yang dimaksud adalah pengelolaan yang menempatkan komunitas sebagai pengambil keputusan dan penanggung jawab, sedangkan operasionalnya bisa dilakukan oleh masyarakat sendiri atau pun oleh lembaga tertentu yang ditunjuk oleh komunitas itu. Sementara investasinya dapat berasal dari mana saja (dari suatu kelompok, swadaya, pemerintah, swasta ataupun donor). Kesemua proyek ini bertujuan membangun struktur manajemen sederhana di tingkat komunitas yang memungkinkan komunitas mandiri mengelola sistem penyediaan air minum dan penyehatan lingkungan yang berkesinambungan.
Jika terimplementasi sesuai rencana, proyek – proyek ini mampu memberi multipliers effects bagi semua pihak yang terlibat. Oleh karena itu, diharapkan keanggotaan Kelompok Kerja ini semakin meluas sehingga kegiatan yang dilakukan pun semakin beragam dalam rangka peningkatan aksesibilitas masyarakat terhadap air minum dan penyehatan lingkungan. Selain itu, diharapkan pola-pola kerjasama ini dapat direplikasikan di daerah (Propinsi dan Kabupaten/Kota) sehingga kegiatan pembangunan air minum dan penyehatan lingkungan dalam rangka pemenuhan kebutuhan masyarakat dapat dilaksanakan dengan baik.